Bab 1 - Ketika Lonceng Terakhir Berhenti Berdentang
Suara kapur yang digoreskan ke papan tulis terdengar berirama, bersahut-sahutan dengan dengungan kipas angin tua di sudut kelas. Udara siang itu terasa pengap, seolah enggan bergerak. Di luar jendela, matahari menggantung tepat di atas lapangan sekolah, memantulkan panas yang menyelinap masuk melalui kisi-kisi kaca.
Di bangku ketiga dari belakang, Raka Wijanarka menundukkan kepalanya. Buku sejarah yang terbuka di hadapannya perlahan menjadi alas dagu. Tulisan tentang kerajaan-kerajaan Nusantara abad lampau tampak kabur di matanya. Kelopak matanya terasa berat, jauh lebih berat dari beban tugas yang menumpuk di tasnya.
“Kerajaan Singhasari mencapai puncak kejayaannya pada masa…”
Suara guru di depan kelas terdengar semakin jauh, seperti gema dari lorong panjang yang tak berujung.
Raka berusaha bertahan. Ia mencubit lengannya sendiri, menarik napas panjang. Namun rasa kantuk itu datang seperti gelombang—pelan di awal, lalu menenggelamkan segalanya. Tanpa ia sadari, kepalanya benar-benar tertunduk, dan dunia pun gelap.
Entah berapa lama ia tertidur.
Raka terbangun dengan perasaan aneh. Bukan karena suara bel istirahat, bukan pula karena teguran guru. Yang membangunkannya adalah bau tanah basah dan udara dingin yang menyentuh kulitnya.
Ia membuka mata.
Langit biru pucat membentang luas di atas kepalanya. Tidak ada atap kelas. Tidak ada papan tulis. Tidak ada suara murid-murid.
Raka terperanjat dan segera bangkit. Tangannya menyentuh tanah—tanah sungguhan, berpasir dan dingin. Di sekelilingnya terbentang hutan lebat, dengan pepohonan tinggi menjulang dan akar-akar besar mencuat dari permukaan bumi. Angin berembus membawa suara dedaunan bergesekan, seolah hutan itu sedang berbisik.
“Apa… ini?” gumamnya lirih.
Seragam putih abu-abu yang dikenakannya kini tampak kusut dan kotor. Sepatu hitamnya dipenuhi lumpur. Jantungnya berdegup kencang, lebih cepat dari biasanya.
Ia berdiri, memutar tubuhnya perlahan. Di kejauhan, samar-samar terlihat bangunan batu—seperti gerbang atau candi kecil—ditumbuhi lumut dan tanaman liar. Bentuknya asing, namun entah mengapa terasa… familiar.
Tiba-tiba, kepalanya berdenyut.
Raka memegangi pelipisnya. Pandangannya berkunang-kunang, lalu—dalam sekejap—sesuatu yang aneh terjadi.
Saat ia menatap ke arah sebilah keris tua yang tergeletak di dekat batu besar, sebuah cahaya samar muncul di penglihatannya.
Keris Tanpa Nama
Tingkatan: Biasa (I)
Aura: Redup
Potensi: Terkunci
Raka tersentak mundur. Ia mengucek matanya berkali-kali.
“Halusinasi?” bisiknya.
Namun tulisan itu tetap ada. Mengambang tipis di udara, tepat di atas keris tersebut.
Dengan tangan gemetar, Raka mengambil keris itu. Begitu jarinya menyentuh gagangnya, sensasi hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. Seolah benda itu mengenalinya.
“Aku… bisa melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa,” ucapnya pelan, hampir tak percaya.
Saat itulah Raka menyadari satu hal penting—ini bukan mimpi biasa. Dan ini bukan sekadar masa lalu.
Ia telah berada di zaman kerajaan, di dunia di mana pusaka bukan hanya senjata, melainkan penentu takdir.
Dan entah bagaimana caranya, dirinya terpilih sebagai pengembara.
Raka menatap hutan di hadapannya, menggenggam keris erat-erat.
Jika benar pusaka adalah kunci, maka perjalanannya baru saja dimulai.
Dan mungkin—hanya mungkin—di antara pusaka-pusaka itulah terdapat jalan pulang, kembali ke waktu di mana seharusnya ia berada.
Suka dengan karya ini? Berikan apresiasi!
Menulis seperti bernafas, setiap hembusan terdapat unsur kehidupan